JENITRI NEWS

Sabtu, 03 Juli 2010

Jadi Jutawan, Berkat Jenitri


Peluh membasahi tubuh Komari usai menebang 20 pohon kelapa di halaman rumahnya. Aksi tebang pohon berumur 70 tahun itu keruan mengundang tawa warga Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kelapa yang serbaguna itu tumbang satu per satu. Di bekas lahan kelapa itulah ia menanam 73 bibit ganitri.
Empat tahun usai aksi tebang pohon itu, pada Juni 2002 orang-orang yang dulu menertawakan terperangah. Ketika itu Komari menuai 30 kg buah ganitri hanya dari 8 pohon. Omzet yang diraih Komari mencapai Rp8-juta.

Elaeocarpus sphaericus (640Wx480H) -

‘Memanen biji ganitri jauh menguntungkan dibanding kelapa,’ ujar pria kelahiran Cilacap 31 Desember 1925 itu. Bila sebatang kelapa menghasilkan 10 buah per bulan, ia paling-paling mengantongi Rp10.000 per pohon. Di kota minyak itu harga sebuah Cocos nucifera hanya Rp1.000.
Pendapatan itu lebih kecil ketimbang hasil penjualan ganitri, ‘Panen perdana satu pohon ganitri menghasilkan Rp250.000-Rp1,3-juta. Itu belum termasuk panen susulan,’ kata pensiunan perangkat desa itu. Tinggi rendahnya pendapatan itu lantaran ukuran biji yang tak seragam dari setiap pohon. Padahal, biji klitri-sebutannya di Madura-dihargai berdasarkan ukuran. Semakin kecil ukuran biji, kian tinggi harganya.
Naik terus
Menurut Komari, ‘Dari satu pohon belum tentu ada yang berukuran kecil.’ Biji ganitri dikelompokkan dalam 11 nomor, nomor 1-ukuran diameter 5 mm-adalah yang terkecil dan termahal. Nomor berikutnya setiap kenaikan 0,5 mm. Kelas 1-9 dihargai per butir, sedang nomor 10 dan 11 dihargai per kilogram.
Sejak pamornya naik, harga itu tak pernah turun, bahkan terus naik. Pada 1960 harga sebuah biji kelas 1 Rp0,5; sekarang, Rp152. Bandingkan dengan harga biji kelas 10 berukuran 9,5 mm mencapai Rp11.000 per kg; nomor 11 berukuran di atas 10 mm, Rp2.000 per kg. Setiap kenaikan diameter 0,5 mm, harga semakin turun. Harga sebuah biji nomor 9 ukuran 9 mm- Rp10.
‘Kelihatannya murah, tapi bila diakumulasikan bisa mencapai jutaan rupiah per pohon,’ papar ayah 3 anak itu. Dari sebuah pohon, biji yang termasuk kelas 1-9 tak sampai 20%. Pada panen perdana ketika pohon berumur 4 tahun, produksi mencapai 350.000 butir. Pekebun memanen buah pada September-Februari.
Varietas yang dibudidayakan Komari berproduksi ketika berumur 2 tahun; jenis lokal, umur 6-7 tahun. Batang varietas super lebih pendek sehingga memudahkan panen. Jenis super berumur 4 tahun tingginya 4 meter; lokal, 10-15 meter. Nah, jenis super itu lebih banyak menghasilkan biji kelas 1- 9. Dengan jarak tanam 6 m x 6 m, populasi ganitri di lahan 1 ha mencapai 120 pohon. ‘Setengahnya sudah berbuah dan siap panen 2 bulan mendatang,’ kata pria 72 tahun itu.
Di Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Komari bukan satu-satunya pekebun ganitri. Saat ini terdapat 70 pekebun yang membudidayakan pohon anggota famili Elaeocarpaceae itu di Cilacap. Setelah Komari sukses meraup laba besar, mereka ingin mengikuti jejaknya. Rata-rata mereka menanam 2-10 pohon mata dewa alias ganitri di pekarangannya.
Belum dikebunkan
Untuk apa biji ganitri itu? Pemeluk agama Hindu menggunakan biji ganitri sebagai sarana peribadatan. Biji-biji itu diuntai membentuk rangkaian seperti tasbih bagi penganut Islam atau rosario bagi kaum Nasrani. Itulah sebabnya pasar terbesar biji ganitri ke India dan Nepal. Negara di Asia Selatan itu penganut Hindu terbesar. Tak hanya itu, ganitri dipercaya berkhasiat obat berbagai penyakit (baca: Mata Siwa Penyapu Polutan halaman 116).
Di Indonesia ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. ‘Tak banyak orang Indonesia yang mengebunkannya,’ tutur Soma Temple, pengusaha ganitri di Bali. Itulah sebabnya Soma kadang-kadang kesulitan mencari bahan baku dan harus mengimpor dari India dan Nepal. Di bawah label Aum Rudraksha, ia rutin memasarkan minimal 100 mala alias tasbih ganitri ke Australia, Jepang, dan Italia. Harga termurah berkisar Rp50.000-Rp80.000. Jika menginginkan desain khusus, harganya lebih mahal.
Selain di Cilacap, sentra penanaman ganitri juga ada di Desa Gadungrejo, Kecamatan Klirong, Kebumen, Jawa Tengah. Menurut staf Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, Supono, total penanaman 35 ha dengan produksi per ha mencapai 1,9 ton. Kasimun dan Jasmin, membudidayakan masing-masing 18 dan 8 pohon jenis super di lahan 1.875 m2 dan 200 m2.
Panen perdana 3 pohon milik Jasmin berlangsung pada April 2007. Ia menuai 6.000 biji kelas 5, 5.000 biji (4), 3.000 biji (3), 2.000 biji (2), dan 750 biji (1). Sisanya masuk nomor 10-11. Dari penjualan itu Jasmin mengantongi Rp2,1-juta. Ia pun berhasrat menambah populasi pohon hingga 20 batang.
Laba itu memang terbilang besar. Sebab, biaya pemeliharaan sebatang pohon rudraksa relatif kecil. Komari hanya menghabiskan Rp7.500 per pohon per tahun. Dana itu untuk pemupukan dan penyiraman. Artinya, dari 3 pohon milik Jasmin yang sudah berproduksi, menelan biaya Rp22.500. Harga sebuah bibit sambung susu Rp100.000. Hasilnya mencapai jutaan rupiah dalam setahun.
Palsu
Bukan berarti usaha Kasimun selalu mulus. Awal menanam 40 bibit sambung susu yang didatangkan dari Cilacap mati menyisakan 18 batang saja. Kerugian yang dideritanya sekitar Rp2-juta. ‘Bibit patah karena tak tahan diterpa angin,’ kata Kasimun. Tak mau mengulangi kisah pahit itu, ia selalu memberi ajir setiap bibit yang baru ditanam dengan bambu sampai umur 1,5 tahun. Hama yang ditemui biasanya berupa ulat cokelat yang makan dan bersarang di dalam batang muda. Akibatnya tanaman kering dan mati. Jika hambatan teratasi, peluang bisnis ganitri masih terbentang.
Biji Elaeocarpus ganitrus dapat dijual dalam keadaan basah maupun kering. Namun, kebanyakan pekebun menjual kering lantaran keuntungan lebih besar. Dalam keadaan basah, biji kelas 1 dapat digolongkan nomor 3 karena kulit pembungkus biji cukup tebal. Apalagi mengupas kulit buah mudah dilakukan. Pekebun biasanya merebus buah ganitri dalam air mendidih selama 2 jam. Setelah kulit luar melunak, pekebun membersihkan dan menjemurnya selama 18 jam.
Pekebun seperti Komari menyetorkan biji kering kepada eksportir di Jakarta. ‘Berapa pun volumenya diambil,’ katanya. Eksportir membutuhkan 320 ton ganitri sekali kirim. Syaratnya biji ganitri harus cerah. Dibutuhkan saringan untuk menyeleksi biji ganitri dalam 11 kelompok dan menghitung jumlah biji setiap kelas.
Berapa pun harganya, selalu dibayar tunai. Dari setiap kelas yang ia beli, Komari mengutip minimal Rp10 per butir. Setiap musim panen rata-rata ia membeli hingga 1,5 ton ganitri dengan total pembelian seharga Rp600-juta. Sebagai pengepul, laba bersihnya lebih dari Rp100-juta per bulan.
Menurut Indian Times, setiap tahun jutaan biji rudaksa asal Indonesia masuk ke India. Nilai transaksi diestimasi mencapai Rp500-miliar. Kelangkaan dan tingginya kebutuhan itu memunculkan penjual nakal yang memperdagangkan biji ganitri palsu. Tidak semestinya berbisnis pengingat Tuhan kok menyediakan mala palsu. |sumber:trubus

Jumat, 02 Juli 2010

Investasi Jenitri Berbuah Pundi

Sungguh Menggiurkan, satu butir jenitri jenis bodong bisa dihargai jutaan rupiah. Siapa pun jelas akan tertarik untuk membudidayakan tanaman tersebut. Seperti warga di Desa Penusupan, Kecamatan Sruweng, Kebumen, beramai-ramai menanam jenitri. Wartawan Suara Merdeka Arif Widodo mencoba menelusuri daerah itu, yang kini menjadi seperti hutan jenitri. Berikut hasil laporannya yang disunting oleh Tavifrudi dalam dua tulisan .

Sumber : http://suaramerdeka.com
MENYUSURI Desa Penusupan, Kecamatan Sruweng, Kebumen, seperti di hutan belantara. Pepohonan tumbuh di mana-mana. Rimbun dan membawa kesejukan pada siang hari, meski saat terik matahari. Suasananya benar-benar asri. Apalagi pohon yang tumbuh itu seragam, pohon jenitri. Ya, setiap kepala keluarga (KK) di desa tersebut menanam pohon jenitri.

Menginjakkan kaki ke desa lain di Kecamatan Sruweng tak ada bedanya. Seperti di Desa Tanggeran, Desa Donosari, dan Desa Condongcampur.

Rimbunan pohon jenitri tumbuh subur di sana-sini. Pekarangan, halaman rumah, dan kebun ditanami pohon jenitri. Bahkan, sawah-sawah juga disulap menjadi ladang jenitri. Merambah lagi ke Kecamatan lainnya yakni Kecamatan Pejagoan juga disuguhi pemandangan yang sama. Tengok saja di Desa Peniron dan Watulawang yang saat ini masyarakatnya gemar membudidayakan pohon jenitri.

Setelah menelusuri hutan jenitri di sejumlah desa tersebut muncul anggapan dari wartawan Suara Merdeka yang menulis laporan ini tentang program penghijauan dan penanaman seribu pohon dari pemerintah.

Namun anggapan yang belum sempat terucap itu sudah ditanggapi sejumlah warga yang membudidayakan pohon berbuah kasar tersebut. Mereka mengatakan, investasi untuk menanam pohon jenitri dilakukan sendiri. “Investasi kami itu tanpa campur tangan pemerintah,” kata sejumlah warga.

Mereka yang menanam dan merawat pohon jenitri hingga berbuah itu mengaku dari gethok tular (informasi dari orang ke orang). Tanpa dikomando dan tanpa didahului dengan program, mereka pun bisa jalan sendiri. Hingga kemudian diperoleh informasi yang menyebutkan pohon jenitri itu dari India. Ada orang India yang merantau di Kebumen dan membawa pohon jenitri yang kemudian ditanam di Desa Penusupan.

Sekitar 150 tahun lalu orang India itu tinggal di Kauman, Kebumen. Dia menitipkan pohon jenitri kepada seseorang santri yang mengaji di masjid daerah Kauman tersebut. Orang India itu lalu memberikan bimbingan dari mulai menanam pohonnya hingga panen buah jenitri.

Orang India yang namanya diganti Mukti itu juga menampung buah jenitri untuk dibawa ke negaranya. Dia menghargai satu butir jenitri begitu tinggi. Hingga kemudian yang menanam pohon jenitri itu bertambah banyak dan lahannya makin luas. Masyarakat Desa Penusupan pun kemudian beramai-ramai menanam pohon jenitri. Jadi, sekarang kondisinya sudah seperti hutan.

Saat ditelusuri lagi, santri itu ternyata merupakan mbah buyut seorang pengepul jenitri asal Desa Penusupan yang bernama Hariyadi. Dia yang mempersunting Tri Endarwati, seorang guru SD itu, sekarang tinggal di Desa Tanggeran, yang masih masuk Kecamatan Sruweng.

Hariyadi membudidayakan jenitri di berbagai tempat. Seperti Desa Penusupan, Desa Tanggeran, dan Desa Karangsari (Kecamatan Sruweng), serta di Kecamatan Buayan dan Gombong. Lahannya mencapai 1 hektare, dengan jumlah tanaman 250 pohon. Mantan sopir angkot itu merupakan pengepul resmi yang mendapatkan rekomendasi dari India. Dia memiliki stelan ayakan jenitri asli dari negara tersebut.

Jenitri Hibrid

Menurut cerita ayahnya, alm H Durrohman, konon pada awalnya orang India yang menyuruh mbah buyut Hariyadi itu meminta pohon jenitri ditanam di Desa Krakal, Kecamatan Alian. Namun di daerah tersebut tidak terawat sehingga hasilnya kurang maksimal. Hingga sekarang di daerah Krakal pohon jenitri sulit berkembang.

Agar tanaman jenitri bisa berkembang dan menghasilkan buah yang bagus, kata Hariayadi, harus dirawat dari mulai penanaman hingga panen. Dalam memilih bibitnya pun harus yang berkualitas, jangan asal-asalan. Karena bibit itu akan berpengaruh terhadap buah yang dihasilkan.

“Untuk menghasilkan buah jenitri yang berkualitas harus mengambil bibit yang berkualitas pula. Bibit berkualitas itu berasal dari induk yang bagus. Buah jenitri yang bagus berukuran kecil,” jelas Hariyadi, sembari menambahkan bibit yang berkualitas itu dipengaruhi faktor genetik dari induknya.

Hariyadi rupanya menuruni mbah buyutnya. Dia menambahkan, perawatan tanaman dari mulai pemberian pupuk, pemberian perangsang bunga juga memengaruhi kualitas dan kuantitas buah jenitri yang dihasilkan.

Cara menanam juga perlu diperhatikan. Terlebih dahulu membuat lubang selebar 30 cm, dengan kedalaman sekitar 30 cm. Lubang tersebut diberi pupuk kandang dan dibiarkan terlebih dahulu selama kurang lebih 10 hari. Selanjutnya ditanam dan diberi pupuk untuk kali pertama. Pohon jenitri juga bisa ditanam di pot. (66)

Profil Jenitri News


Menurut pengamatan saya, masih sangat sedikit literatur maupun referensi mengenai tanaman JENITRI (GENITRI, GANITRI, RUDHAKSA) baik dalam bentuk pustaka buku atau media lainnya. JENITRI NEWS hadir untuk lebih mengenalkan JENITRI kepada anda, tentang ragam pengetahuan tentang tanaman, buah, biji, dan banyak hal lainnya. Kami mengulas tentang bibit, pohon, hama, penyakit, buah, biji dan perawatan tanaman jenitri. Kami juga menawarkan bibit jenitri, penjualan maupun pembelian jenitri.

Saya sadari, apa yang saya sajikan dalam situs blog ini masih sangat sedikit dan mungkin jauh dari harapan anda, namun sedikit banyak saya akan mencoba untuk mengupas semampu saya tentang tanaman Jenitri yang saat ini mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat luas, seperti di Kebumen, Cilacap, Wonosobo dan kota - kota lain di Indonesia.

Mengapa situs blog ini saya beri nama Jenitri News, karena pada realitanya masyarakat Jawa Timur belum banyak yang mengetahui Jenitri. Seperti di derah Kota Batu dan Malang Raya tempat saya berdomisili sekarang. Semoga dengan hadirnya situs blog ini dapat menambah wawasan kita mengenai tanaman dan produksi serta pengelolaan Jenitri.

Sebuah kehormatan bagi saya dan penghargaan yang setinggi-tingginya apabila anda berkenan memberikan masukan-masukan yang nantinya dapat membangun dan menambah wawasan saya untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan isi situs blog ini.

Bagi anda yang berminat dalam penjualan atau pembelian jenitri maupun bibit jenitri, silahkan hubungi kami melalui telepon, atau surat elektronik seperti tertera pada KONTAK KAMI, dan kami terbuka untuk kedatangan anda.

Terima kasih karena anda telah menjadikan situs blog ini sebagai sarana penambah pengetahuan tentang JENITRI.

Apa itu Jenitri - Genitri - Rudhaksa


Kalau di tempat kelahiran saya di Ds. Pengaringan, Pejagoan , Kebumen, Jawa Tengah, buah atau pohon ini sudah mendominasi tanaman di pekaranngan atau pun perkebuman warga. Tanaman atau buahnya oleh warga Pengaringan dan sekitarnya lebih dikenal dengan sebutan JENITRI.

RUDRAKSA= rudra berarti Siwa dan aksa berarti mata, sehingga arti keseluruhannya berarti mata Siwa, yang sejalan dengan mitologinya bahwa di suatu saat air mata Siwa menitik, kemudian tumbuh menjadi pohon rudraksa menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, Malaysia bahkan sampai ke Bumi Nusantara, yang popular dengan nama GANITRI atau GENITRI. Dalam bahasa latinnya disebut ELAEOCARPUS GANITRUS. Ada tiga macam jenis ganitri dan 4 jenis agak berlainan yang dinamai KATULAMPA.

RUDRAKSA = adalah buah kesayangan Siwa dan dianggap tinggi kesuciannya. Oleh karena itu rudraksa dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya,
bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa (Siva Purana). Sebagai sarana japa atau dapat dipakai oleh seluruh lapisan umat atau oleh ke-empat warna umat, maupun oleh pria atau wanita tua ataupun muda.

Selain pengaruh spiritual/religius tersebut, kepada pemakai rudraksa juga dapat memberikan efek biomedis dan bio-elektomagnetis (energi), secara umum dapat
dikatakan dapat memberi efek kesehatan, kesegaran maupun kebugaran. Hal ini terungkap dari buku tentang penyhelidikan secara mendalam terhadap keistimewaan rudraksa tersebut di India.

Untuk mendapat daya-guna sampai maksimal, tentu harus memenuhi etika dan syarat, apalagi untuk memperoleh manfaat-manfaat khusus, berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki rudraksa sesuai dengan bentuk, rupa serta jumlah mukhi (juringan)-nya. Secara umum dapat disebutkan bahwa rudraksa harus tidak dipakai/dibawa ke WC, melayat, turut kepemakaman/crematorium, dan tidak dalam keadaan cuntaka (sebel), maupun sebel pada diri wanita. Sebelum dimanfaatkan sebaiknya tasbih genitri itu dipersembahkan di pura, kemudian dimohonkan keampuhannya denagan diperciki tirtha, yang berarti pemakaiannya melalui prosedur ritual. Hal itu ditempuh karena ber-japa dengan tasbih genitri bukan sekedar untuk menghitung-hitung, memakai rangkaian japa-mala rudraksa juga bukan sekedar asesori atau sebagai atribut status quo. Dengan ritual itu ingin dicapai kemantapan bathin yang berdimensi magis, dan memperlakukan japa-mala-rudraksa itu sebagai sarana sakral, di samping untuk kesehatan. (berbagai sumber)